Wednesday, February 29, 2012

SYURGA BAGI ISTERI


Kisah benar yang di ceritakan oleh penulis (Ukhti Annisa Azka Abiyyah) Repost Oleh : Ummu Masyithoh Nur Syifa dengan penambahan.. Maka bagaimana aku tidak akan memperhatikanmu, sementara engkau adalah surga dan nerakaku, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam :

 “Perhatikanlah sikapmu terhadapnya (suami), karena ia bisa menjadi surgamu dan nerakamu”(HR. Ibnu Saad, Ath-Thabrani, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al Jami’us Shaghir (1590))

 Bismillaah.. Semoga boleh diambil manfaatnya oleh saudari-saudari muslimahku.. Petang itu… menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini sesudah asar.. seorang wanita datang, tersenyum dan duduk disebelahku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan ini.

 “awak sudah menikah?”. “Belum kak”, jawabku. Kemudian wanita itu .bertanya lagi “kenapa?” aku jawab dengan senyuman.. ingin ku jawab karena masih belajar, tapi rasanya itu bukan alasan. kakak menunggu siapa?” aku bertanya. “tunggu suami” jawabnya. Aku lihat di kirinya, sebuah beg laptop dan sebuah beg besar tidak aku tahu apa isinya. Dalam hatiku tertanya-tanya, dari mana kakak ini? Ku lihat wanita itu seperti wanita berkerjaya. Akhirnya ku beranikan juga untuk bertanya…

“kak kerja di mana?”,entahlah keyakinan apa yg meyakinkanku bahwa kakak ini seorang berkerjaya.. “Alhamdulillah 2 jam yang lalu, saya dengan rasminya tidak lagi bekerja” , jawabnya dengan wajah yang bersinar dengan ketulusan hati. “kenapa?” tanyaku lagi. Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah salah satu cara yang boleh membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.

Aku berfikir sejenak, apa kaitannya? Hairan. Lagi-lagi dia hanya tersenyum. Adik, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini boleh menjadi pengajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan dilamar oleh lelaki yang sangat mencintai akhirat.

“saya sebenarnya bekerja di pejabat. Gaji saya 7 ribu/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, ais cendol di siang hari. Kami berkahwin baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka pada suami saya. Waktu itu pukul 7 malam, suami baru menjemput saya dari pejabat, biasanya pukul 3 sudah pulang. Saya letih sekali ukhti. Saat itu juga suami saya penat dan kepalanya pening. Dan parahnya saya juga sakit kepala . Suami minta diambilkan air minum, tapi saya berkata padanya, “abi,umi sakit kepala ni, ambil sendiri lah”.

 Sakit kepala membuatkan saya tertidur hingga lupa solat isya. Jam 11.30 saya terbangun dan cepat-cepat solat, Alhamdulillah sakit kepala pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan nyenyaknya. Saya menuju ke dapur, saya lihat semua piring sudah bercuci. Siapa lagi yang mencucinya kalau bukan suami saya? Saya lihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga sakit kepala tadi? Saya segera masuk ke bilik, berharap abi sedar dan saya mahu menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu penat, hingga tak juga sedar.

 Rasa sedih mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi deman, tinggi sekali panasnya. Saya teringat kata-kata terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata saya menitis, betapa selama ini saya terlalu sibuk di luar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.” Subhanallah, aku melihat kakak ini bercerita dengan semangatnya. Dan kulihat juga ada titisan air mata yg di usapnya.

“adik tau berapa gaji suami saya? Sangat jauh berbeza dengan gaji saya. Sekitar 600-700 ratus/bulan. 10x ganda dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah daripada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya ,dia selalu berkata “umi,,ini ada sedikit rezeki dari Allah. ambillah Buat keperluan kita.tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan umi redha”, begitu katanya.

Kenapa sekarang baru saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”. “Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih menghargai nafkah yang diberikan suami saya.

Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kudratnya, dan senang-senang memperlekehkan si suami.” Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk bercakap. “beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya tidak ada yang menyokong niat saya untuk berhenti berkerja . Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.” Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah,,apakah aku boleh jadi seperti dia? Menerima suami seadanya dia, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.

“kak, kita itu harus fikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk anak-anak kita kak. sara hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang yang perlukan pekerjaan. kakak pula senang-senang berhenti kerja. Pendapatan Suami kakak pun tak cukup. Lainlah kalau suami kakak orang kaya, bolehlah kita santai-santai saja di rumah. Salah kakak juga, kalau mau jadi suri rumah tangga, seharusnya kahwin dengan orang kaya. kahwin dokter muda itu yang berniat melamar kakak dulu sebelum dengan yang ini. Tapi kakak lebih memilih berkahwin dengan orang yang belum jelas pekerjaannya.

 Dari 4 orang adik beradik, Cuma suami kakak yang tidak punya gaji tetap dan yang paling membuatkan kami kesal, seolah-olah suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarkan kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantu pun tak mau, sampai heran aku, apa suami kakak itu mau?”.

Ceritanya kembali, menceritakan kata-kata adik perempuannya bila diminta pendapat. “adik tau, saya hanya menangis saat itu. Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap titis keringat suami saya, padahal dengan titisan keringat itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah dihadapnnya hanya karena sebuah pekerjaaan.

Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridha atas besarnya nafkah itu. Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi penganggur daripada melakukan pekerjaan yang seperti itu.

Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istrinya dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga dengan suami saya. “Semoga jika adik mendapat suami seperti saya, adik tak perlu malu untuk menceritakan pekerjaan suami adik pada orang lain.

Bukan masalah pekerjaannya dik, tapi masalah halalnya, berkatnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rezki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku.Mengambil beg laptonya… bergegas meninggalkannku. Kulihat dari jauh seorang lelaki menaiki motor mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helmet, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku.

Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridha. Ya Allah…. Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pengajaran paling baik dalam hidupku. Pengajaran yang menghapuskan sosok lelaki kaya dalam benakku sebagai teman hidupku..

 Subhanallah.. Saudariku…semoga pekerjaan,harta, tak pernah menghalangmu untuk tidak menerima pinangan dari lelaki yang baik agama dan akhlaknya..

Dan untuk para suami…semoga Allah memberikan ganjaran atas nafkah yang engkau berikan kepada keluarga yang kau cintai, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam : ”..Dan sesungguhnya, tidaklah engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah Allah, melainkan engkau diberi pahala dengannya sampai apa yang engkau berikan kemulut istrimu akan mendapat ganjaran.” (Shahih, HR Al-Bukhari (no.1295( dan Muslim (no.1628), dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu’anhu).

Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150090053684738

No comments:

Post a Comment